Marilah saya ajak Anda sekarang menjelajahi wilayah ketakutan
yang lain: takut tua. Sedikit atau banyak, semua orang menyimpan ketakutan jenis
ini. Siapa tidak suka awet muda ? Betapapun
dunia Timur, ketuaan mengandung rasa hormat, kenyataannya tetap
saja. Tua berarti rentan, rapuh, jelek dan merepotkan. Apalagi ketika hidup ditandai dengan
persaingan, dimana kemenangan ada
di tangan yang kuat. Pastilah sudah nasib si renta! Sebab itu, regenerasi. Hai laskar-laskar tua
menepilah! Wahai,
ksatria-ksatria belia, majulah! Itulah siklus kehidupan yang tidak terhindarkan.
Bila ketuaan itu sendiri tidak terelakan, maka banyak cara
dilakukan untuk mengatasi takut tua dengan segala akibatnya.Misalnya, dengan mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya.Bayangkan: bila sudah tua, ditambah melarat pula. Siapa mau memandang sebelah
mata?! Tapi tengok dong bapak kita Soeharto!
Tidak sepenuhnya salah, memang. Tapi,ingat, kekayaan cuma bisa membayar pengawal, tidak bisa membeli
sejahtera. Dan bila orang
mengumpulkan lebih dari yang ia butuhkan, maka secara moral ia bersalah terhadap mereka yang terpaksa memperoleh kurang daripada
yang seharusnya mereka perlukan.
Yesus memberi resep klasik ini: "Cari dahulu kerajaan Allah dan segala
kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan-Nya
padamu" (Matius 6:33). Apakah uang dimaksudkan dengan "semuanya" itu ?
Jawabnya: semuanya yang semula menjadi sumber ketakutan kita.
Sandang, pangan, papan dan rasa aman.
Sebenarnya pengalaman telah berulang-ulang mengajar kita, betapa acap kecemasan kita jauh melebihi kenyataan yang kemudian
terjadi.Pemazmur bersaksi, "Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua,tapi tidak pernah kulihat orang benar
ditinggalkan, atau anak
cucunya meminta-minta roti!" (Mazmur 37:25). Benar, keadaan bisa memburuk. Tapi biasanya tidak seburuk yang kita
bayangkan! Demikian pula masa tua memang menakutkan. Tapi apakah mati muda lebih baik ?
Jadi, mengapa tidak dijalani saja? Pasti, saya jamin, ia tidak seburuk yang Anda
bayangkan. (ED)
|