Takut(7)

Ada bentuk lain dari rasa takut menimbulkan penderitaan
bagi orang lain. Yaitu takut bergantung kepada orang lain.
Takut merepotkan orang lain. Pada masyarakat Barat,
kita banyak menjumpai orang-orng yang telah amat lanjut
usia memilih hidup sendiri -- betul-betul sendiri --,
ketimbang hidup bersama anak-anak mereka. Atau, tinggal
di panti-panti werda. Saya tidak dapat membayangkan 
bilamana mereka sakit. Atau bila persediaan makanan habis,
sedangkan salju turun dengan hebatnya. Teman segereja 
kami di Boston, Helen Bates, mati di apartemennya dan 
baru ketahuan setelah mayatnya berbau busuk. Semula saya
mengira, itu karena mereka mau hidup bebas dan mandiri.
Atau karena ketidaklumrahan anak-anak mereka. Ternyata
tidak selalu begitu. Penyebab yang paling umum adalah,
orang-orang tua itu tidak mau menjadi beban bagi anak-
anak mereka.

Menolak ketergantungan, terutama bila dibandingkan dengan kegemaran menjadi benalu bagi orang lain, tentu adalah suatu sifat terpuji. Namun terlalu kaku memegangi prinsip ini, bukan tidak mungkin adalah ekspresi dari kesombongan tersembunyi. Mengapa? Sebab tidak seorang pun di dunia ini bisa 100 persen mandiri, tidak tergantung pada siapa-siapa. Kita membutuhkan Tuhan. Kita juga membutuhkan sesama kita. Itu sebabnya Firman Tuhan berkata, "Kamu memang telah  dipanggil untuk merdeka. Tetapi layanilah seorang akan yang lain oleh kasih" (Galatia 5:13). "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu!" (Galatia 6:2).

Alangkah baiknya memberi kesempatan kepada anak-anak
kita untuk bertanggung-jawab atas kesejahteraan mereka.
Biarkan mereka repot! Sebab ketika mereka tidak berdaya,
kita memelihara mereka. Tidak perlu ada rasa takut. 
Hidup adalah serangkaian memberi dan menerima yang tidak
putus-putusnya. Ada saatnya kita memberi. Ada saatnya
kita menerima. Bahkan ketika kita menerima itu, kita
sebenarnya juga memberi. Memberi kesempatan kepada
orang lain bertanggungjawab atas sesamanya. Kalau begitu,
mengapa tidak ?? (ED).