Awan Di Atas Kehidupan Ekonomi Kita

Siapa bisa menyangkal, bahwa awan hitam sudah terlalu lama menudungi kehidupan ekonomi kita ? Seorang profesor ilmu ekonomi yang cukup terkemuka, ketika saya tanya mengenai situasi dan prospek ekonomi kita, memberi jawaban yang ringkas, mengejutkan, tapi juga kaya akan makna. Ia berkata, "Saya cuma heran, mengapa kita belum juga kolaps sekarang ini." Begitu parahnya keadaan ekonomi kita, sehingga seharusnya kita sudah lama bangkrut dan hancur lebur. Mengerikan. Tapi juga mengandung harapan. Harapan? Ya. Sebab pada kenyataan bahwa kita belum kolaps juga menunjukkan bahwa Tuhan masih menyayangi dan memelihara bangsa kita. Paling sedikit, masih berkenan memberi kesempatan.

Ekonomi, sesuai dengan namanya, berfungsi untuk mengupayakan kesejahteraan material bersama. Kata "ekonomi" berasal dari kata "oikos" (=rumah) dan "nomos" (=hukum).  Ia mengatur baik kegiatan produksi maupun distribusi, bagi kebutuhan serta kesejahteraan seluruh "rumah". Jadi, amat alkitabiah! Sebab ekonomi mengatur mekanisme agar ada keseimbangan. "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan" (II Korintus 8:14-15).

Tapi begitukah kenyataannya? Sebaliknya ! Manusia-manusia ekonomi - karena tingkah laku mereka sendiri - sering digambarkan sebagai vampir yang rakus dan hidup dari kematian orang lain. Ekonomi tidak lagi berfungsi untuk saling menghidupi, tapi justru menjadi arena untuk saling membantai. Tidaklah mengherankan, ketika ekonomi semakin penting, awan hitam pun kian tebal menggantung menudungi kehidupan.

Harapan hanya ada ketika kehidupan ekonomi juga mau mendengarkan Yesus. Bila mekanisme ekonomi dijalankan di bawah terang kasih, kebenaran dan keadilan Kristus (Lukas 9:35). Ekonomi yang menghisap pada akhirnya akan menghancurkan semua termasuk si penghisap. Sebaliknya, melaksanakan ekonomi yang adil dan berpihak kepada yang lemah adalah investasi jangka panjang yang pasti menguntungkan. Pasti. Tidak ada spekulasi di sini. Jadi bila anda ekonom sejati, mengapa tidak mencobanya ? (ED)