Akar Amarah |
Kita telah membahas, bahwa ada amarah yang mulia, yaitu ketika kita marah demi kepentingan sesama. Dan apa pula amarah yang menjadi biang dosa, yaitu ketika kita marah demi kepentingan sendiri. Batas antara keduanya tidak selalu jelas. Yang jauh lebih sering terjadi adalah, bagaimana amarah yang hina itu didandani begitu rupa sehingga seolah-olah bagaikan amarah yang mulia. Orang yang marah-marah katanya demi membeli prinsip. Bila kita bedah lebih dalam, astaga, ia mencak-mencak karena ada "per" yang tersinggung. Seperti Soeharto yang mengadu ke PBB karena merasa HAMnya dilanggar. Sungguh menertawakan! Akar amarah yang paling dalam adalah harga diri dan kepentingan pribadi. Sentuhlah salah satu dari keduanya, kalau tidak darah serta merta akan mendidih. Bisa terluapkan, bila ada kesempatan. Bisa pula cuma ditahan, karena merasa tidak ada kekuatan. Oleh karena itu amarah tidak mungkin dan tidak perlu dilenyapkan. Tapi ia perlu dan harus dikendalikan. Bagaimana caranya ? Dengan mengendalikan akar-akarnya! Sama seperti pohon ara yang dikutuk oleh Yesus itu menjadi "kering sampai ke akar-akarnya" (Matius 11:20) Pada satu pihak, kisah penderitaan Yesus adalah kisah paling dramatis tentang bagaimana harga diri dan kepentingan pribadi Yesus diinjak-injak sampai ke tanah dan dibenamkan secara amat spektakuler, bagaimana Yesus berhasil mengendalikan dua akar penyebab amarah tersebut/ Ia diam. Tidak berusaha sedikitpun untuk membela diri (Matius 27:24). Bagaimana mungkin ? Kecenderungan pementingan harga diri dan kepentingan pribadi itu, Ia letakkan di bawah ketaatan dan penyerahan diri-Nya yang total kepada Allah. Artinya, demi ketaatan-Nya kepada Allah itu, Ia bersedia untuk menanggung apapun. Termasuk kehilangan harga diri dan kepentingan pribadi-Nya. Tanpa kegetiran. Tanpa amarah. Tanpa berbuat dosa. Penulis surat Ibrani berpesan,"Jagalah supaya jangan tumbuh akar yang pahit di dalam jiwa kita" (Ibrani 12:15) (ED) |