Ketika Amarah Tidak Mau Pergi |
Ada kalanya, sekalipun kita telah menyerahkan diri kepada
Tuhan, termasuk menyerahkan rasa dendam dan keinginan membalas kita, amarah itu
toh tak mau pergi-pergi juga. Apa gerangan penyebabnya ? Saya melihat dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalh, penyerahan diri kita masih kurang total.
Masih belum bulat. "Ya, saya sudah memaafkannya. Tapi jangan harap saya mau
menerimanya. Tapi ini kesempatan yang terakhir". Tubuhnya dilepas, tapi
ekornya dipegangi.
Padahal pengampunan dari Tuhan selalu total dan radikal. "Bersihkanlah aku daripada dosaku, maka aku menjadi tahir; basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju:! Boleh mulai lagi dari titik nol. Sebaliknya, betapa sering kita hanya menyembunyikan saja dendam dan sakit hati kita. Meletakkannya "di bawah kasur" Kita tidak membuang sampah kita. Tapi cuma menumpuknya. Kian lama kian tinggi. Dan kian busuk. Kemungkinan lain adalah, karena setelah boleh lagi mulai dari titik nol, tak ada tekad yang cukup kuat untuk mengubah sikap hidup kita sedikitpun. Ibarat kebun yang rapi, bersih dan indah, tapi kemudian kita biarkan bertumbuh liar tanpa kita rawat. Kembalilah kita amburadul seperti sediakala. Malah mungkin lebih buruk. Ada cerita tentang penduduk sebuah kampung yang punya prinsip mulia; tidak mau membunuh apapun, kecuali bila sangat terpaksa. Sebab itu, ketika anjing-anjing liar lalu berkembang biak dengan amat bebasnya dan menjadi amat mengganggu, mereka hanya memindahkan anjing-anjing itu keluar kampung. Tapi aning-anjing itu selalu kembali lagi. Setiap kali lebih ganas, karena lebih lapar. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang (baca: ditumpas) dari antara kamu, demikianlah pula segala kejahatan (Efesus 4:31). Ibarat tumor kanker. Tumpas sampai tuntas, jangan dibiarkan tinggal biar satu sel pun. (ED).
|