Menghadapi Kritik Yang Tidak Adil

Tanpa bermotif membela diri, kita toh harus mengatakan bahwa sebagian kritik yang ditujukan kepada kita adalah kritik yang tidak berdasar, bahkan tidak adil. Bisa karena "astik" artinya "asal kritik". Bisa pula karena "asdis", artinya "asal bisa mendeskriditkan", kalau perlu dengan memutarbalikkan fakta sekalipun. Menghadapi situasi semacam ini, apa yang mesti kita lakukan ? Saya punya beberapa saran praktis.

Pertama, segeralah bawa pengkritik Anda dan diri Anda sendiri di dalam doa. Kita akan lebih sulit membenci orang yang kita doakan. Dan tidak mudah mengutuk orang yang baru saja kita mintakan pengampunan. Doa, saudaraku, adalah obat yang mujarab serta amat berkhasiat untuk melumpuhkan amarah.

Kedua, jangan Anda dengan sengaja memelihara amarah Anda. Banyak lho, saudara, orang yang semacam itu. Ketika sebenarnya luka hati sudah mulai mengering, eee, luka tersebut malah terus dikorek-korek sehingga berdarah lagi. Anjuran saya, adalah, katakanlah berulang-ulang kepada diri Anda sendiri, kata-kata Martin Luther ini, "Jiwaku terlalu penuh dengan sukacita untuk bisa dikotori oleh amarah. Dan rohku terlalu mulia untuk memperlakukan siapapun sebagai lawan" Dengan kata lain, peliharalah gengsi spiritual Anda ! Jangan membuat diri Anda serendah si pemfitnah.

Ketiga, taklukkanlah pemfitnah Anda itu dengan siasat yang jitu ! Caranya ? Seranglah dia di titik yang paling lemah, pada saat ia lengah, dengan cara yang tidak terduga-duga. Lawan Anda pasti telah siaga meladeni permusuhan dengan permusuhan. Namun pasti terkecoh, bila Anda justru menyerang balik dengan kebaikan. Membiarkan kebaikan mengalahkan kejahatan (Roma 12:21).

Dengan bersenjatakan kebaikan, Anda mungkin gagal mengalahkan lawan Anda. Misalnya, karena ia telah mengeraskan hati sedemikian rupa. Tapi paling sedikit Anda telah memenangkan jiwa Anda sendiri. Anda telah berhasil mencegah jiwa Anda terperosok ke dalam lumpur amarah, dendam dan benci yang hina itu. "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu ? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian ? (Matius 5:46).