Takut(6)

Jenis ketakutan yang akan kita bicarakan kali ini, lain daripada yang lain. Bukan menakuti apa yang bisa menimpa diri kita sendiri, tetapi mencemasi apa yang mungkin menimpa orang lain. Khususnya, orang-orang yang kita cintai. Indra, teman saya, misalnya. Dari hatinya yang tulus, ingin benar ia menjalankan usahanya dengan lurus. Bukan saja karena ini dituntut oleh Tuhan, tapi setiap kecurangan selalu membuat batinnya tersiksa dan jiwanya tidak sejahtera. Jadi mengapa itu tidak dilakukannya? Satu saja alasannya. Bila berdagang lurus-lurus saja, 
ia takut usahanya gulung tikar. Dan akibatnya keluarganya menderita.

Luhur nian budi Indra, sahabat saya itu, bukan? Ia lebih rela kedamaian hatinya terganggu, ketimbang kesejahteraan keluarga yang dipertaruhkan. Tapi benarkah cuma itu hal besar. Yaitu, bahwa menaati Allah selalu menuntut pengorbanan. Pengorbanan yang bersangkutan, dan pengorbanan seluruh keluarganya. Walaupun mungkin tidak terlalu mudah dicerna oleh logika, tapi pernyataan saya itu alkitabiah! Bila berkat dan kutuk dijanjikan Allah bagi orang dan keluarganya, mengapa pengorbanan tidak?!

Itulah yang betul-bentul terjadi dalam realitas kehidupan Tuhan kita dan keluarga-Nya. Betapa tersayat hati Maria, menyaksikan tanpa daya anaknya sekarat dalam kesakitan yang luar biasa! Seperti nubuatan Simeon, jiwanya bagaikan ditembus oleh pedang panjang (Lukas 2:35). Sebaliknya, betapa tercabik hati Yesus, menyaksikan ibu-Nya menderita
begitu rupa meratapi nasib anaknya. Tapi Tuhan kita berprinsip, apa pun yang mesti terjadi, betapapun pahit, terjadilah. Tidak boleh ada apapun
atau siapapun menghalangi ketaatan-Nya kepada Allah.Termasuk ratap tangis ibu-Nya. Atau bujuk rayu murid-Nya (Markus 8:33). Dengan pemahaman itulah kita lebih mengerti mengapa Yesus berkata, bahwa orang harus "membenci" yang dicintainya, bahkan diri sendiri, agar bisa mengikut Yesus (Lukas 14:26). Cinta kita kepada orang lain,
tidak boleh menjadi penghalang cinta kita kepada-Nya. (ED)