Ada bentuk lain dari rasa takut menimbulkan
penderitaan
bagi orang lain. Yaitu takut bergantung kepada orang lain.
Takut merepotkan orang lain. Pada masyarakat Barat,
kita banyak menjumpai orang-orng yang telah amat lanjut
usia memilih hidup sendiri -- betul-betul sendiri --,
ketimbang hidup bersama anak-anak mereka. Atau, tinggal
di panti-panti werda. Saya tidak dapat membayangkan
bilamana mereka sakit. Atau bila persediaan makanan habis,
sedangkan salju turun dengan hebatnya. Teman segereja
kami di Boston, Helen Bates, mati di apartemennya dan
baru ketahuan setelah mayatnya berbau busuk. Semula saya
mengira, itu karena mereka mau hidup bebas dan mandiri.
Atau karena ketidaklumrahan anak-anak mereka. Ternyata
tidak selalu begitu. Penyebab yang paling umum adalah,
orang-orang tua itu tidak mau menjadi beban bagi anak-
anak mereka.
Menolak ketergantungan, terutama bila dibandingkan dengan kegemaran menjadi
benalu bagi orang lain, tentu adalah suatu sifat terpuji. Namun terlalu kaku
memegangi prinsip ini, bukan tidak mungkin adalah ekspresi dari kesombongan
tersembunyi. Mengapa? Sebab tidak seorang pun di dunia ini bisa 100 persen
mandiri, tidak tergantung pada siapa-siapa. Kita membutuhkan Tuhan. Kita juga
membutuhkan sesama kita. Itu sebabnya Firman Tuhan berkata, "Kamu memang
telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi layanilah seorang akan yang lain
oleh kasih" (Galatia 5:13). "Bertolong-tolonganlah menanggung
bebanmu!" (Galatia 6:2).
Alangkah baiknya memberi kesempatan kepada anak-anak
kita untuk bertanggung-jawab atas kesejahteraan mereka.
Biarkan mereka repot! Sebab ketika mereka tidak berdaya,
kita memelihara mereka. Tidak perlu ada rasa takut.
Hidup adalah serangkaian memberi dan menerima yang tidak
putus-putusnya. Ada saatnya kita memberi. Ada saatnya
kita menerima. Bahkan ketika kita menerima itu, kita
sebenarnya juga memberi. Memberi kesempatan kepada
orang lain bertanggungjawab atas sesamanya. Kalau begitu,
mengapa tidak ?? (ED).
|