|
|
DILEMA AMBISI
Dalam kehidupan kita dengan mudah
kita bisa menggambarkan seorang ambisius yang klasik. Ia maju dengan segala cara,
menggunakan cakarnya untuk mencapai kedudukan puncak dan tak perduli pada mereka
yang tersakiti dalam usahanya mencapai keberhasilan. Ia seorang yang
menyenangkan, bila itu mendukung maksudnya, dan bermasa bodoh bila ia tidak
dilayani. Meskipun banyak dari apa yang ia lakukan memang menolong perusahaan,
kita merasakan bahwa motifnya sama sekali ditujukan untuk melayani diri sendiri.
Tujuannya mungkin posisi, uang atau kekuasaan.
Apakah itu salah? Sudah tentu.
Memang salah. Tetapi bila ambisi seperti itu salah, haruskah kita berusaha
menghapuskan semua ambisi? Marilah kita lihat kebalikannya.
Seorang yang lain, tanpa ambisi,
ia menonton TV berjam-jam setiap malam. Ia tidak pernah mengambil inisiatif
untuk mengadakan kegiatan keluarga. Anak-anaknya berlari-lari ke sana ke mari
dengan liar tanpa disiplin atau arahan. Ia seorang Kristen yang pasif –
pemahaman doktrinnya lurus, tapi sama sekali bermasa bodoh. Ia tak pernah
mengajukan diri untuk bertanggung jawab. Dalam tugasnya ia hanya khawatir atas
rasa amannya sendiri dan uang yang cukup. Apakah ini standar Kristen? Sudah
tentu tidak!
Itulah dilemanya. Terlalu banyak
ambisi membawa pada promosi diri yang sombong. Terlalu sedikit ambisi
memperlihatkan kemalasan dan kelambanan. Berapa banyak sebetulnya terlalu banyak
itu? Berapa banyak sebetulnya terlalu sedikit itu?
Ambisi itu sendiri tidak dapat
dinilai baik atau buruk. Ia merupakan bagian dari sifat alamiah kita, seperti
rasa lapar, keinginan atau kasih. Tetapi rasa lapar bisa menjadi kerakusan;
keinginan bisa menjadi kecanduan; kasih bisa menjadi nafsu. Ambisi bisa juga
menjadi sifat egois dan sombong. Seperti dorongan normal mana pun, ia dapat
salah arah.
Alkitab tidak mempersalahkan
ambisi, tetapi motif-motif yang keliru di balik ambisi itulah yang disalahkan,
seperti egoisme, kesombongan atau kerakusan. Alkitab tidak mempersalahkan orang
yang tidak atau kurang berambisi, tetapi yang dipersalahkan adalah kurangnya
iman dan ketaatan. Bila Alkitab condong kepada salah satu diantaranya, maka itu
dimaksudkan untuk mendorong kita agar memiliki ambisi yang sesuai dengan
kehendak Allah. Ambisi Paulus adalah: “…mengarahkan kepada apa yang
dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu
panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” (Filipi 3 : 13 – 14) dan
“… mengenal Dia dan kuasa kebangkitannya. ” (Filipi 3 : 10). Tuhan Yesus
mengajarkan ambisi untuk melayani
ketika Ia berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia
menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mar 9: 35)
Kita harus lebih jelas memahami
hal ini dalam konteks Alkitabiah. Kamus mendefinisikan ambisi
sebagai:
(1) keinginan yang kuat untuk
memperoleh suatu tujuan
tertentu, khususnya dorongan
untuk berhasil, atau memperoleh kemasyuran, kekuasaan, kekayaan dan lain-lain;
(2) tujuan-tujuan yang amat diingini.” Karena itu penggunaan ambisi yang
tepat tergantung pada hal-hal berikut: tujuan yang benar dan motif
yang benar untuk mencapai tujuan itu.Apapun juga yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu
sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose 3 : 23-24). Nats
ini merupakan syarat bagi orang-orang yang bekerja
|
|
|
Tujuan satu-satunya yang sah adalah melayani Kristus.
Bila melayani Kristus menjadi motif kita, masalah pangkat atau naik gaji dapat
diserahkan ke tangan Allah. Bila seseorang bekerja penuh semangat, biasanya ia
akan menghasilkan lebih daripada yang dicapai rekan-rekannya. Malah, bekerja
dengan penuh semangat dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk maju oleh
rekan-rekan sekerjanya. Setiap orang setuju dengan gagasan ideal melayani
Kristus, tetapi pada prakteknya hal ini sulit di- pilah-pilah, apa motif kita
yang sesungguhnya itu benar.
Ambisi dapat disalahgunakan.
Masalahnya adalah bagaimana mengetahui kapan ambisi itu menjadi dosa. Berikut
merupakan sejumlah petunjuk dari ambisi yang tidak sehat: demi ego sendiri,
mengejar kedudukan dan kuasa, nafsu untuk mengendalikan orang lain, motif untuk
menjadi kaya, persaingan pribadi.
Orang dapat memiliki ambisi yang
sehat – lebih dari itu, malah penting. Setiap orang harus menguji motif-motif
hatinya di hadapan Allah, sehingga daftar tentang motif-motif yang baik dan
buruk tidak akan pernah cukup. Namun sejumlah contoh mungkin dapat menolong: keinginan
untuk melayani Allah, menjadi saksi, mempengaruhi masyarakat ke arah yang baik,
memimpin secara rohani, memanfaatkan karunia rohani dan dipakai Allah.
Sebagai penutup, kita
menyimpulkan bahwa ambisi itu sendiri tidaklah baik atau buruk, tetapi
motif-motif di balik ambisi itu harus diuji dalam terang Alkitab Kita harus
kembali kepada prinsip-prinsip utamanya: Allah sepenuhnya menentukan keadaan
kita di masa kini dan masa depan, dan Ia akan menaikkan pangkat, memberikan
kesejahteraan atau menempatkan kita sesuai dengan kehendaknya. “Sebab bukan
dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu,
tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang
lain.” (Mazmur 75 : 7 – 8).
(Disarikan
dari: “Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya” oleh Jerry & Mary
White).
|
|
|
|