Buletin Pemuda - Edisi 11

DILEMA AMBISI

Dalam kehidupan kita dengan mudah kita bisa menggambarkan seorang ambisius yang klasik. Ia maju dengan segala cara, menggunakan cakarnya untuk mencapai kedudukan puncak dan tak perduli pada mereka yang tersakiti dalam usahanya mencapai keberhasilan. Ia seorang yang menyenangkan, bila itu mendukung maksudnya, dan bermasa bodoh bila ia tidak dilayani. Meskipun banyak dari apa yang ia lakukan memang menolong perusahaan, kita merasakan bahwa motifnya sama sekali ditujukan untuk melayani diri sendiri. Tujuannya mungkin posisi, uang atau kekuasaan.

Apakah itu salah? Sudah tentu. Memang salah. Tetapi bila ambisi seperti itu salah, haruskah kita berusaha menghapuskan semua ambisi? Marilah kita lihat kebalikannya.

Seorang yang lain, tanpa ambisi, ia menonton TV berjam-jam setiap malam. Ia tidak pernah mengambil inisiatif untuk mengadakan kegiatan keluarga. Anak-anaknya berlari-lari ke sana ke mari dengan liar tanpa disiplin atau arahan. Ia seorang Kristen yang pasif – pemahaman doktrinnya lurus, tapi sama sekali bermasa bodoh. Ia tak pernah mengajukan diri untuk bertanggung jawab. Dalam tugasnya ia hanya khawatir atas rasa amannya sendiri dan uang yang cukup. Apakah ini standar Kristen? Sudah tentu tidak!

Itulah dilemanya. Terlalu banyak ambisi membawa pada promosi diri yang sombong. Terlalu sedikit ambisi memperlihatkan kemalasan dan kelambanan. Berapa banyak sebetulnya terlalu banyak itu? Berapa banyak sebetulnya terlalu sedikit itu?

Ambisi itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk. Ia merupakan bagian dari sifat alamiah kita, seperti rasa lapar, keinginan atau kasih. Tetapi rasa lapar bisa menjadi kerakusan; keinginan bisa menjadi kecanduan; kasih bisa menjadi nafsu. Ambisi bisa juga menjadi sifat egois dan sombong. Seperti dorongan normal mana pun, ia dapat salah arah.

Alkitab tidak mempersalahkan ambisi, tetapi motif-motif yang keliru di balik ambisi itulah yang disalahkan, seperti egoisme, kesombongan atau kerakusan. Alkitab tidak mempersalahkan orang yang tidak atau kurang berambisi, tetapi yang dipersalahkan adalah kurangnya iman dan ketaatan. Bila Alkitab condong kepada salah satu diantaranya, maka itu dimaksudkan untuk mendorong kita agar memiliki ambisi yang sesuai dengan kehendak Allah. Ambisi Paulus adalah: “…mengarahkan kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” (Filipi 3 : 13 – 14) dan “… mengenal Dia dan kuasa kebangkitannya. ” (Filipi 3 : 10). Tuhan Yesus

mengajarkan ambisi untuk melayani ketika Ia berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mar 9: 35)

Kita harus lebih jelas memahami hal ini dalam konteks Alkitabiah. Kamus mendefinisikan ambisi sebagai:

(1) keinginan yang kuat untuk memperoleh suatu tujuan

tertentu, khususnya dorongan untuk berhasil, atau memperoleh kemasyuran, kekuasaan, kekayaan dan lain-lain; (2) tujuan-tujuan yang amat diingini.” Karena itu penggunaan ambisi yang tepat tergantung pada hal-hal berikut: tujuan yang benar dan motif yang benar untuk mencapai tujuan itu.Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kolose 3 : 23-24). Nats ini merupakan syarat bagi orang-orang yang bekerja

 

 

Tujuan satu-satunya yang sah adalah melayani Kristus. Bila melayani Kristus menjadi motif kita, masalah pangkat atau naik gaji dapat diserahkan ke tangan Allah. Bila seseorang bekerja penuh semangat, biasanya ia akan menghasilkan lebih daripada yang dicapai rekan-rekannya. Malah, bekerja dengan penuh semangat dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk maju oleh rekan-rekan sekerjanya. Setiap orang setuju dengan gagasan ideal melayani Kristus, tetapi pada prakteknya hal ini sulit di- pilah-pilah, apa motif kita yang sesungguhnya itu benar.

Ambisi dapat disalahgunakan. Masalahnya adalah bagaimana mengetahui kapan ambisi itu menjadi dosa. Berikut merupakan sejumlah petunjuk dari ambisi yang tidak sehat: demi ego sendiri, mengejar kedudukan dan kuasa, nafsu untuk mengendalikan orang lain, motif untuk menjadi kaya, persaingan pribadi.

Orang dapat memiliki ambisi yang sehat – lebih dari itu, malah penting. Setiap orang harus menguji motif-motif hatinya di hadapan Allah, sehingga daftar tentang motif-motif yang baik dan buruk tidak akan pernah cukup. Namun sejumlah contoh mungkin dapat menolong: keinginan untuk melayani Allah, menjadi saksi, mempengaruhi masyarakat ke arah yang baik, memimpin secara rohani, memanfaatkan karunia rohani dan dipakai Allah.

Sebagai penutup, kita menyimpulkan bahwa ambisi itu sendiri tidaklah baik atau buruk, tetapi motif-motif di balik ambisi itu harus diuji dalam terang Alkitab Kita harus kembali kepada prinsip-prinsip utamanya: Allah sepenuhnya menentukan keadaan kita di masa kini dan masa depan, dan Ia akan menaikkan pangkat, memberikan kesejahteraan atau menempatkan kita sesuai dengan kehendaknya. “Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.” (Mazmur 75 : 7 – 8).

(Disarikan dari: “Bekerja: Arti, Tujuan dan Masalah-masalahnya” oleh Jerry & Mary White).

 

 

 
Komisi Pemuda GKI Bekasi Timur - kompagki@yahoo.com